Viralnya sebuah warung bakso di Yogyakarta memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Warung ini terletak di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, dan menampilkan logo Dewan Masjid Indonesia (DMI) serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam spanduknya, yang membuat banyak orang terkejut.
Menurut laporan, keberadaan warung bakso ini mulai dipermasalahkan pada Januari 2025. DMI menerima keluhan dari takmir masjid setempat mengenai ketidakjelasan informasi terkait jenis daging yang digunakan dalam bakso, yang ternyata berbahan dasar daging babi.
Ahmad Bukhori, Sekjen DMI Ngestiharjo, menjelaskan bahwa semua ini bermula ketika pedagang bakso menyewa kios di lokasi tersebut sejak tahun 2006. Sebelumnya, mereka telah berjualan keliling selama beberapa tahun dan tidak menyadari dampak dari produk yang mereka jual.
Dinamika Pertarungan Antara Tradisi dan Modernitas di Yogyakarta
Masalah ini menjadi mencuat setelah adanya laporan dari masyarakat yang menginginkan transparansi dalam bisnis makanan. Banyak warga muslim yang merasa khawatir saat menemukan orang berpakaian jilbab membeli bakso di warung tersebut.
Bukhori menegaskan bahwa penting untuk memberikan informasi yang jelas kepada konsumen. Oleh karena itu, dialog dilakukan dengan pemilik warung agar dapat menyampaikan dengan baik tentang komposisi bakso yang dijualnya.
Setelah komunikasi dilakukan, pihak warung akhirnya setuju untuk mengambil langkah konkrit. Namun, label kecil yang dipasang dianggap tidak memadai oleh DMI, sehingga menghasilkan kesepakatan untuk membuat spanduk yang lebih jelas dan mencolok.
Peranan DMI dalam Memastikan Transparansi Produk Makanan
Pemasangan spanduk baru dilakukan pada Februari 2025, dengan tujuan untuk memberikan informasi yang lebih baik kepada masyarakat. Spanduk tersebut menyertakan logo DMI dan pernyataan jelas mengenai kandungan bakso yang dijual.
Setelah pemasangan spanduk, video warung tersebut menjadi viral di media sosial. Berbagai reaksi muncul, ada yang mendukung langkah DMI, tetapi banyak juga yang mengkritik seolah DMI mendukung praktik penjualan daging babi.
Kantor Urusan Agama (KUA) setempat sempat mengadakan diskusi untuk mengevaluasi situasi ini. Akhirnya, spanduk tambahan dengan label ‘Tidak Halal’ dibuat untuk mempertegas informasi bagi konsumen.
Ketentuan Hukum dan Perlindungan Konsumen di DIY
Yuna Pancawati, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY, menyatakan bahwa ada peraturan daerah yang mengatur tentang produk halal. Perda DIY Nomor 5 Tahun 2014 menjadi dasar hukum yang mengatur pemenuhan standar halal bagi pelaku usaha.
Peraturan ini menyarankan pentingnya mencantumkan label halal pada produk makanan untuk memberikan kejelasan bagi konsumen. Hal ini diharapkan dapat menghindari adanya kebingungan di masyarakat terkait produk yang mereka konsumsi.
Disamping itu, Pergub Nomor 27 Tahun 2018 mengatur lebih lanjut tentang hal teknis untuk mendapatkan sertifikasi halal. Regulasi ini harus diikuti oleh semua pelaku usaha agar informasi mengenai produk yang dikonsumsi masyarakat jelas dan akurat.
Melalui upaya sosialisasi dan penyuluhan, Pemerintah Daerah DIY berharap agar masyarakat dan pelaku usaha menyadari pentingnya kepatuhan terhadap regulasi ini. Edukasi mengenai sertifikasi halal diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan produk yang ada di pasaran.
