Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, meninggal dunia pada 2 November 2025 di usia 77 tahun. Wafatnya sang raja menjadi momen bersejarah bagi masyarakat Solo dan warisan budaya Jawa yang telah ia jaga sepanjang hidupnya.
Hidup dalam lingkungan keraton yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi lahir di Solo pada 28 Juni 1948. Sejak kecil, ia telah terpapar dengan kehidupan keraton yang sarat dengan sejarah dan spiritualitas.
Sebagai putra sulung Pakubuwono XII, jalan yang sudah ditetapkan untuknya menjadi tantangan dalan peralihan kepemimpinan yang kompleks. Kematian ayahnya pada 11 Juni 2004 memicu perselisihan dalam penetapan pewaris takhta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Perselisihan dan Penobatan: Awal Sebuah Era Baru
Pewaris yang ditinggalkan oleh Pakubuwono XII, memiliki garis keturunan yang luas, menciptakan perpecahan dalam keluarga keraton. Dua calon penerus muncul, KGPH Hangabehi dan adiknya, KGPH Tedjowulan, menjadi pusat perhatian dalam suksesi kekuasaan ini.
Melalui rapat Forum Komunikasi Putra Putri (FKPP) PB XII pada 10 Juli 2004, keputusan diambil untuk menobatkan Hangabehi. Namun, tidak lama kemudian, konflik muncul ketika Tedjowulan juga dinyatakan sebagai raja oleh kubunya pada 31 Agustus 2004.
Sebuah bentrokan pun pecah di dalam kompleks keraton, yang selama ratusan tahun dianggap sebagai simbol kedamaian. Dinding istana menyaksikan pertikaian di antara umat kerajaan, menciptakan dualisme yang mengganggu ketentraman Kasunanan.
Pemulihan Keraton: Menghadapi Tantangan dan Rintangan
Meskipun dihadapkan pada situasi yang sulit, Hangabehi tetap melanjutkan proses penobatan pada 10 September 2004. Upacara ini ditandai oleh kehadiran bangsawan serta utusan kerajaan yang memberikan dukungan bagi pemerintahannya.
Dalam masa pemerintahannya, PB XIII tidak hanya harus berjuang untuk memulihkan stabilitas politik. Ia juga berkomitmen untuk menjaga pelestarian budaya, mengadakan upacara adat, dan mendukung seni tari yang mengakar dalam tradisi.
Moment penting bagi keraton terjadi pada Juli 2009, ketika upacara jumenengan diadakan. Tarian Bedhaya Ketawang yang sakral dipersembahkan kembali, menggambarkan harapan rekonsiliasi, meskipun terdapat perselisihan yang masih berlanjut dengan Tedjowulan.
Jembatan Persatuan: Kesepakatan yang Membawa Kedamaian
Pada tahun 2012, upaya penyelesaian konflik antara kedua belah pihak akhirnya berhasil. Melalui mediasi yang melibatkan DPR RI dan Pemerintah Kota Solo, perjanjian dicapai yang mengakui Hangabehi sebagai raja yang sah.
Kesepakatan ini juga memberi Tedjowulan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung, serta jabatan Mahapatih untuk menjaga hubungan baik antara keduanya. Momen ini menandai akhir dari perpecahan yang berkepanjangan dalam keluarga keraton.
Di bawah kepemimpinannya, PB XIII mengembalikan keraton sebagai pusat kebudayaan, dikenal akan pendekatannya yang sederhana dan welas asih. Kepemimpinan yang kokoh namun lembut menjadikannya sosok yang dicintai dan dihormati.
Warisan dan Pengaruh yang Tak Terlupakan
Wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII menjadi kehilangan yang mendalam bagi masyarakat Solo. Masa pemerintahannya, yang ditandai oleh peralihan dari konflik menuju persatuan, menjadi babakan penting dalam sejarah keraton.
Lebih dari sekedar seorang raja, ia meninggalkan pelajaran berharga tentang makna ‘ngayomi’. Konsep ini bukan hanya tentang melindungi, namun juga mempersatukan dan menghargai keragaman budaya di tengah perubahan zaman.
Warisan yang ditinggalkan oleh PB XIII mencakup tidak hanya bangunan megah keraton, tetapi juga semangat untuk menjaga harmoni dalam masyarakat Jawa. Ia mengajarkan pentingnya identitas budaya di era yang terus berubah.
