Penerapan keadilan restoratif menjadi salah satu topik hangat dalam dunia hukum kita. Terutama, hal ini menjadi sorotan ketika Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, memaparkan pentingnya konsep tersebut di berbagai tahap proses hukum.
Menurutnya, keadilan restoratif tidak hanya berlaku di tingkat penyidikan, tetapi juga bisa diterapkan dalam penuntutan hingga masa hukuman di penjara. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat tercipta pemulihan bagi semua pihak yang terlibat.
Eddy Hiariej menjelaskan bahwa keadilan restoratif dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan. Misalnya, jika pihak korban bersedia memaafkan pelaku yang melakukan tindak pidana, dan pelaku bersedia mengganti kerugian yang ditimbulkan, hal tersebut bisa menjadi dasar penerapan keadilan restoratif.
Memahami Konsep Restorative Justice secara Mendalam
Konsep restorative justice atau keadilan restoratif bertujuan untuk memulihkan hubungan antara korban dan pelaku. Selain itu, pendekatan ini juga berupaya memperbaiki kerugian yang dialami oleh korban, sehingga memberikan solusi yang lebih manusiawi dalam hukum.
Dalam penerapannya, keadilan restoratif menuntut adanya persetujuan dari semua pihak yang terlibat. Eddy mencatat bahwa hal ini harus didokumentasikan dengan baik untuk menghindari penyalahgunaan. Dengan cara ini, proses hukum bisa tetap berjalan namun dengan lebih memperhatikan aspek kemanusiaan.
Untuk memahami lebih lanjut, Eddy menggunakan contoh kasus penipuan dengan jumlah kerugian yang besar. Ia menekankan bahwa jika korban menerima pengembalian dana, maka proses restorative dapat diimplementasikan. Hal ini bukan hanya menguntungkan korban tetapi juga memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki kesalahan.
Syarat dan Ketentuan dalam Penerapan Restorative Justice
Namun, keadilan restoratif ini tidak berlaku untuk semua kasus. Eddy menjelaskan bahwa ada syarat tertentu yang harus dipenuhi agar konsep ini bisa diterapkan. Salah satunya adalah pelaku harus merupakan orang yang pertama kali melakukan tindak pidana.
Ancaman hukuman yang dihadapi pelaku juga menjadi pertimbangan penting. If a case carries a penalty of more than five years in prison, it may not be eligible for restorative justice. This ensures that the approach is reserved for less severe offences, keeping the focus on rehabilitation.
Proses pengajuan untuk menerapkan keadilan restoratif juga cukup beragam. Terdapat dua metode, yaitu pengajuan oleh pelaku atau korbannya. Metode ini memungkinkan partisipasi luas dari pihak-pihak yang terlibat.
Hijrah Menuju Undang-Undang yang Baru
Kuota hukum baru atau RKUHAP yang telah disahkan menjadi undang-undang mencakup banyak aspek hukum, termasuk penerapan restorative justice. Namun, pengesahan ini juga menuai kritik karena dianggap tidak melibatkan suara masyarakat secara signifikan.
Beberapa kalangan mengharapkan agar proses hukum lebih inklusif dan transparan, sehingga keadilan bisa dirasakan oleh semua. Ketidakpuasan terhadap pengesahan RKUHAP menunjukkan pentingnya kearifan dalam merumuskan undang-undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa pembahasan RKUHAP telah mencakup banyak organisasi masyarakat. Meskipun demikian, tantangan ke depan adalah memastikan bahwa undang-undang baru ini benar-benar efektif dan menciptakan keadilan di masyarakat.
